Hujan meteor
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Hujan meteor adalah fenomena astronomi
yang terjadi ketika sejumlah meteor terlihat bersinar pada langit malam. Meteor ini
terjadi karena adanya serpihan benda luar
angkasa yang dinamakan meteoroid, yang memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan
tinggi. Ukuran meteor umumnya hanya sebesar sebutir pasir, dan hampir
semuanya hancur sebelum mencapai permukaan Bumi. Serpihan yang mencapai
permukaan Bumi disebut meteorit. Hujan meteor umumnya terjadi ketika Bumi melintasi
dekat orbit sebuah
komet dan melalui
serpihannya
Meteor adalah penampakan jalur jatuhnya meteoroid
(benda langit berupa debu, pasir dan batu kosmik) melintasi atmosfer bumi dan
terbakar, kita biasa menyebut sebagai bintang jatuh. Juataan meteor selalu
menghantam atmosfer setiap hari dan hangus terbakar. Meteor ini terlihat pada
ketinggian 40 sampai 120 km diatas permukaan bumi.
Penampakan tersebut disebabkan oleh panas yang dihasilkan oleh tekanan ram (bukan oleh gesekan, sebagaimana anggapan umum sebelum ini) pada saat meteoroid memasuki atmosfer. Meteor yang sangat terang, lebih terang daripada penampakan Planet Venus, dapat disebut sebagai bola api. Bila lebih terang lagi disebut dengan "Bolide".
Meteor melaju dengan kecepatan 70 km per detik. Saat memasuki atmosfer Bumi, kecepatannya di perlambat oleh
Adakalanya meteor ini tidak terbakar habis di atmosfer sehingga sisanya jatuh ke Bumi dan biasanya disebut dengan batu meteor meteorit. Biasanya meteor terbakar antara 60-96% di atmosfer. Bumi kita memang diciptakan oleh Tuhan lengkap dengan pelindungnya.
Hujan dan badai Meteor
dari rasi Leo
Patokan yang diambil untuk menentukan apakah itu badai atau hujan Leonid. Leonid merupakan meteor dari rasi Leo. Jika jumlah meteor kurang dari 200 per jam disebut dengan hujan Leonid, bila lebih disebut dengan badai Leonid.
Pada 12 Novembr 1883 terjadi fonomena alam di Amerika yang dimulai jam 10 sampai jam 2 malam. Ratusan ribu meteor bertaburan diangkasa sepanjang malam membuat kagum dan bengong orang pada waktu itu. Badai meteor itu menurut para ahli berasal dari rasi Leo.
Di tahun 1899 dan 1933 terjadi lagi hujan meteor. Dan di tahun 1966 terjadi kembali badai meteor di dahului dengan hdirnya Komet Tempel Tuttel di tahun 1965. Sejak itu para ahli tahu, badai leonid terjadi didahului oleh komet tersebut.
Penampakan "kembali" Leonid di atmosfir Bumi terjadi pada bulan November 1998, tepat setelah delapan bulan Tempel-Tuttle melintasi sumbu perihelion. Pada malam tanggal 16-17 November tahun itu, dunia menyaksikan hujan bola api selama 18 jam. Ketika itu dikabarkan, frekuensinya mencapai ratusan meteor per jam. Setahun kemudian, frekuensi jumlah meteor yang masuk ke atmosfir bumi terhitung menurun di beberapa belahan dunia. Namun pada beberapa lokasi, sekitar Eropa, Afrika, dan Timur Tengah terjadi badai Leonid di mana frekwensinya mencapai satu meteor per menit.
Setelah penampakannya yang pertama dan kedua itu,
Leonid muncul kembali tahun 2000 dan 2001. Pada tahun 2001 itu, ratusan Leonid
berukuran besar melesat masuk ke atmosfir Bumi. Para
pengamat di Observatorium Bosscha ketika itu melaporkan, bahwa mereka telah
melihat sekitar 50 meteor Leonid terlihat antara puul 01:48 hingga 02:05 waktu
setempat. Setelah itu, sekitar 40 Leonid terlihat setiap 20 menit hingga pukul
02:45. Selama dua setengah jam mengamati dengan mata telanjang, para astronom
di Bosscha melihat ada sekitar 200 meteor Leonid tampak muncul dari langit sebelah
timur dan menyebar ke segala penjuru arah. Mereka pun sempat melihat sebuah
Leonid lewat di atas kepala dalam waktu cukup lama.
Sebagian besar hujan meteor datang dari komet,
karena permukaan esnya menguap dengan mudah ketika berdekatan dengan matahari.
Debu yang dibebaskan dalam proses ini terbakar di atmosfer Bumi dan menciptakan
“bintang jatuh”.
Namun, aliran debu yang terjadi dalam hujan meteor Geminid yang terjadi setiap
bulan Desember di Bumi, tidaklah disebabkan oleh komet. Ia disebabkan oleh
sebuah benda selebar 5 kilometer bernama 3200 Phaeton, yang tempaknya adalah
sebuah asteroid.
Tapi asteroid itu batu. Bagaimana batu bisa
menyiramkan begitu banyak bahan tanpa adanya es untuk diuapkan? Petunjuk datang
bulan Juni 2009 saat pesawat STEREO-A NASA mengamati kembaran sang asteroid
dalam kegelapan saat ia pada titik terdekatnya ke Matahari, yang berada hanya
14 persen dari jarak Bumi ke Bintang tersebut.
David Jewitt dan Jing Li, keduanya dari
Universitas California di Los Angeles megnatakan kalau sisi asteroid yang
menghadap Matahari mencapai suhu 480 hingga 780 °C di titik
tersebut. Suhu ini cukup panas sehingga membuat batuannya mengembang dan retak,
membangkitkan debu yang memantulkan sinar matahari dan menyebabkan asteroid ini
cemerlang.
Efek kedua juga menyumbang pada pengguguran debu
Phaeton. Walaupun asteroid ini tampaknya tidak memiliki es, beberapa molekul
air dapat terikat secara kimiawi dalam sela-sela bebatuannya. Bila ada mineral
bernama serpentinite di sana, misalnya, ia akan pecah pada suhu 630 °C dan
melepaskan air yang diikatnya secara kimia
dalam bentuk uap.
Proses ini dapat menjadi dahsyat, menurut
percobaan tahun 2009 oleh Jay Melosh dari Universitas Purdue di West Lafayette,
Indiana , dan
rekan-rekannya. “Pecahan serpentinite terlontar dengan kecepatan tinggi,
mungkin dikendalikan oleh uap yang meledak dari mineral yang mengalami
dehidrasi tersebut,” kata Melosh.
Pecahnya mineral seperti serpentine dapat
menyebabkan asteroid tersebut menyemburkan debu, kata beliau.
“Melihat sendiri massa yang hilang dari Phaeton merupakan
kemajuan besar,” kata Yan Fernández dari Universitas Florida Tengah di Orlando,
yang mempelajari Phaeton. “Akan lebih menggembirakan lagi kalau ada yang bisa
menemukan lebih banyak pengetahuan atas peristiwa letupan ini.”
Komet2
penyebab meteor
Penelitian tentang komet dapat memberikan
kontribusi penting dalam mempelajari dampak lingkungan antariksa terhadap
atmosfer bumi. Salah satu dampak yang ditimbulkan komet yang melintas dekat
bumi adalah hujan meteor akibat masuknya debu-debu komet ke atmosfer bumi.
Setiap tanggal 7 – 15 Agustus Bumi kita biasa dihujani oleh debu-debu komet
Swift-Tuttle yang menyebabkan hujan meteor besar yang dikenal sebagai hujan
meteor Perseid. Di samping itu banyak lagi hujan meteor yang berasosiasi dengan
komet-komet yang melintas dekat Bumi.
Hujan Meteor
Komet yang mendekat matahari selalu melepaskan
gas dan debu yang tampak sebagai ekor komet. Debu-debu komet itu yang
tertinggal di sepanjang lintasan orbitnya merupakan gugusan meteoroid yang bisa
menyebabkan hujan meteor di bumi bila bumi melintasi lintasan komet tersebut.
Dampak hujan meteor terhadap bumi antara lain berupa ionisasi di ionosfer dan
penumpukan aerosol di stratosfer.
Menurut penelitian, gugusan meteoroid itu
sifatnya berbeda-beda tergantung umurnya. Ada
yang masih padat tetapi terkonsentrasi di sekitar inti komet sehingga hanya
akan menyebabkan hujan meteor periodik, sesuai dengan waktu kehadiran komet
mendekat bumi. Golongan ini diwakili oleh hujan meteor Draconids (pada awal
Oktober) tahun 1933, 1946 dan 1985 yang disebabkan oleh komet Giacobini-Zinner.
Golongan ke dua gugusan meteoroid tipis di
sepanjang lintasannya, tetapi di dekat kometnya kerapatannya tinggi, misalnya
gugusan meteoroid Leonids (penyebab hujan meteor 14-19 November) yang
disebabkan oleh komet Tempel-Tuttle. Golongan ke tiga adalah gugusan meteoroid
yang tersebar merata di sepanjang lintasannya yang menyebabkan hujan meteor
yang hampir seragam intensitasnya setiap tahun, misalnya hujan meteor Geminids
(11-16 Desember) yang disebabkan oleh komet yang telah mati, asteroid Phaethon.
Makin tua umurnya gugusan meteorid itu makin tipis dan akhirnya tidak
menunjukkan lagi gejala hujan meteor.
Beberapa hujan meteor telah diidentifikasikan
berkaitan dengan komet yang masih aktif, seperti hujan meteor Eta Aquarids
(3-10 Mei) dan Perseids (7-15 Agustus) yang masing-masing disebabkan oleh
komet Halley dan Swift-Tuttle. Beberapa lainnya dikaitkan dengan komet yang
telah hancur, seperti hujan meteor Andromedids (5-23 November) akibat komet
Biela yang telah hancur, atau komet yang telah mati, seperti hujan meteor Geminids
yang diakibatkan oleh komet mati yang tinggal intinya berupa asteroid Phaethon.
Dan beberapa hujan meteor lainnya belum diketahui komet-komet penyebabnya
seperti hujan meteor Quadrantids 2 – 5 Januari.
Orbit Komet
Untuk mengetahui komet-komet penyebab hujan
meteor maka orbit (lintasan) komet-komet periodik dianalisis dan dicari yang
mempunyai kemungkinan menyebabkan hujan meteor di bumi. Ini kemudian
dibandingkan dengan hujan meteor yang terdeteksi oleh Meteor Wind Radar (MWR)
di Serpong (dioperasikan secara kerjasama antara LAPAN, BPPT, dan Universitas
Kyoto). Pendekatan yang dilakukan agak berbeda dari yang biasa dilakukan para
peneliti sebelumnya yang mengkaji elemen orbit meteoroid dan membandingkannya
dengan elemen orbit komet. Cara seperti itu rumit dan memerlukan data
pengamatan hujan meteor secara visual, fotografi, atau pemantauan TV untuk
menentukan arah datangnya meteor. Cara itu tidak mungkin dilakukan bila hanya
menggunakan data MWR.
Dengan pendekatan itu dapat didentifikasikan
kembali hujan meteor utama yang memang telah diketahui komet penyebabnya. Maka
dengan pendekatan serupa itu pula hujan-hujan meteor lainnya yang terdeteksi
MWR di Serpong diidentifikasi dan dikaitkan dengan komet yang mungkin
menyebabkannya.
Karakteristik orbit benda-benda langit mengitari
matahari dinyatakan oleh elemen-elemen orbitnya yang menyatakan secara spesifik
bentuk kelonjongan orbit, posisi terdekat dan terjauh terhadap matahari,
kemiringan bidang orbitnya terhadap bidang ekliptika (bidang orbit bumi), dan
posisi titik perpotongan orbitnya pada bidang ekliptika. Dengan menganalisis
elemen-elemen orbit komet dapat ditentukan komet-komet apa saja lintasannya
dekat dengan orbit bumi. Demikian juga dapat ditentukan kapan akan terjadi
hujan meteor bila bumi melintasi orbit komet tersebut. Dari analisis itu
diketahui bahwa antara 1 Januari dan 1 April bumi paling sedikit bertemu dengan
lintasan komet, sedangkan antara 1 Oktober – 1 Desember terbanyak.
Dari 153 komet periodik yang saya pelajari,
diketahui bahwa 33 komet mempunyai orbit yang melintas dekat orbit bumi.
Kemudian dengan menganalisis jarak terdekat ke-33 orbit komet itu, disimpulkan
bahwa secara teoritik komet yang menyebabkan atau berpotensi menyebabkan hujan
meteor sebanyak 21 komet dengan kemungkinan menyebabkan 30 kali hujan meteor
setiap tahun.
Penyebab Hujan Meteor
Menurut pengamatan radar meteor di Serpong
diketahui bahwa jumlah meteor yang memasuki bumi secara umum naik turun secara
periodik (sinusoidal). Pola umum itu diduga kuat disebabkan oleh meteor
sporadik akibat masuknya debu-debu antarplanet (meteoroid) yang bervariasi
akibat perubahan lintang bumi pada kedudukan “haluan” sepanjang orbit bumi.
“Haluan” bumi dalam hal ini adalah titik terdepan pada bola bumi selama beredar
di orbitnya yang terletak pada bidang ekliptika. Perubahan lintang “haluan”
bumi disebabkan oleh kemiringan equator 23,5o terhadap ekliptika.
Di samping pola umum itu di dapati juga ada
kenaikan jumlah meteor secara mendadak pada waktu-waktu tertentu. Kenaikan
mendadak itu disebabkan oleh hujan meteor, terutama akibat masuknya debu-debu
komet ke atmosfer Bumi. Setidaknya dijumpai adanya 25 kali hujan meteor dalam
satu tahun, sebagian diantaranya “baru” (belum/tidak terkenal). Dari
identifikasi hujan meteor tersebut, 18 titik lintasan komet yang menyebabkan 19
kali hujan meteor. Sekali hujan meteor mungkin disebabkan oleh lebih dari satu
lintasan komet yang berdekatan. Demikian juga sebuah komet mungkin menyebabkan
dua kali hujan meteor.
Hujan meteor utama yang telah lama diketahui
komet penyebabnya juga terlihat jelas pada pada data MWR: Hujan meteor Eta
Aquarids (oleh komet Halley) tampak pada tanggal 2 – 9 Mei. Hujan meteor
Perseids (oleh komet Swift-Tuttle) tampak pada tanggal 7 – 15 Agustus. Hujan
Meteor Taurids (komet Encke) tampak pada tanggal 3 – 9 November.
Pada tanggal 6 Mei bumi melintasi orbit komet
Halley yang lintasannya berada pada jarak 10,5 juta km di “bawah” (selatan)
bidang ekliptika (bidang orbit bumi). Karena sebaran debu-debu komet itu
melebar, bumi akan merasakan hujan meteor sebelum tanggal 6 Mei dan beberapa
hari sesudahnya. Hujan meteor Eta Aquarids memang biasa terjadi pada tanggal 3
– 10 Mei dengan puncaknya pada tanggal 4 – 5 Mei. Dan data MWR menunjukkan
bahwa hujan meteor itu terjadi antara tanggal 2 – 9 Mei dengan puncaknya pada
tanggal 4 mei.
Data pengamatan hujan meteor menunjukkan adanya
beberapa puncak pada hujan meteor Eta Aquarids ini dan juga Orionids. Variasi
jumlah meteor itu menunjukkan bahwa distribusi debu-debu komet Halley itu tidak
merata.
Lintasan komet Swift-Tuttle (yang diduga akan
menabrak bumi pada tahun 2026) merupakan yang terdekat dengan bumi dan nyaris
tepat memotong orbit bumi. Lintasannya berada di belahan utara (“atas”) orbit
bumi pada jarak sekitar 2 juta km. Bumi memotong lintasan komet Swift-Tuttle
pada tanggal 13 Agustus. Ini akan menyebabkan bumi mengalami hujan meteor
sekitar tanggal 13 Agustus. Memang, hujan meteor Perseids biasanya terjadi
antara tanggal 7 – 15 Agustus dengan puncaknya pada tanggal 12 – 13 Agustus. Data
MWR menunjukkan adanya hujan meteor pada tanggal 7 – 15 Agustus dengan dua
puncak utama, tanggal 10 dan 15 Agustus. Menurut Lindblad & Porubcan (1994)
adanya dua puncak hujan meteor Perseid bisa disebabkan karena orbit gugus
meteoroid lama bergeser dari orbit gugus meteoroid baru.
Pada tanggal 1 November bumi melintasi orbit
komet Encke yang berada pada ketinggian 29 juta km di “atas” orbit bumi. Ini
menyebabkan hujan meteor yang dihasilkannya terutama terjadi sesudah tanggal 1
November ketika bumi melintas di dekat gugusan meteoroidnya. Hujan meteor yang
terdeteksi oleh MWR terjadi pada tanggal 3 – 9 November. Biasanya hujan meteor
Taurids memang teramati antara tanggal 23 Oktober dan 20 November dengan
puncaknya pada tanggal 4 – 7 November.
Hal yang menarik, komet Hartley juga mempunyai
kemungkinan besar memberikan kontribusi hujan meteor 3 – 9 November itu. Jarak
lintasannya ke orbit bumi lebih dekat (5,5 juta km) dari pada lintasan komet
Encke (28 juta km). Melihat jarak terdekatnya terjadi pada tanggal 5 November,
komet ini menyebabkan hujan meteor terutama sesudah tanggal 5 November. Jadi,
hujan meteor 3 – 9 November yang terdeteksi MWR disebabkan oleh dua komet:
Encke dan Hartley.
Kenapa hujan
meteor bisa terjadi dan apakah penyebab hujan meteor itu? Hujan
meteor adalah fenomena astronomi yang terjadi ketika sejumlah meteor
terlihat bersinar pada langit malam.
Meteor ini terjadi karena adanya serpihan benda luar angkasa yang dinamakan meteoroid, yang memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan tinggi. Ukuran meteor umumnya hanya sebesar sebutir pasir, dan hampir semuanya hancur sebelum mencapai permukaan Bumi. Serpihan yang mencapai permukaan Bumi disebut meteorit. Hujan meteor umumnya terjadi ketika Bumi melintasi dekat orbit sebuah komet dan melalui serpihannya.
Kamis malam lalu, 15 April 2010, hingga 26 April 2010 nanti hujan meteor Lyrids akan menghiasi langit malam. Fenomena tahunan itu bisa disaksikan di seluruhIndonesia
selepas tengah malam. Puncak hujan meteor ini akan terjadi pada 21-22 April.
Saat itu, diperkirakan ada 10-20 meteor yang muncul setiap jam. Woww..!
Meteor ini terjadi karena adanya serpihan benda luar angkasa yang dinamakan meteoroid, yang memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan tinggi. Ukuran meteor umumnya hanya sebesar sebutir pasir, dan hampir semuanya hancur sebelum mencapai permukaan Bumi. Serpihan yang mencapai permukaan Bumi disebut meteorit. Hujan meteor umumnya terjadi ketika Bumi melintasi dekat orbit sebuah komet dan melalui serpihannya.
Kamis malam lalu, 15 April 2010, hingga 26 April 2010 nanti hujan meteor Lyrids akan menghiasi langit malam. Fenomena tahunan itu bisa disaksikan di seluruh
Tahun lalu hujan meteor juga terjadi pada November 2009. Meteornya adalah meteor Leonid. Tempat pengamatan terbaik ada di
"Saat itu diperkirakan 20-30 meteor per jam di Amerika, dan sebanyak 200-300 meteor per jam di penjuru
Hujan Leonid merupakan acara tahunan, jika langit terlihat jelas dan cahaya bulan tidak mengganggu. Tahun ini, bulan sudah dekat fase baru, dan bukan faktor yang mengganggu. Bagi siapa pun di belahan bumi utara dengan langit gelap, jauh dari perkotaan dan pinggiran pencahayaan, acara ini jangan sampai dilewatkan dengan begadang sepanjang malam.
"Biasanya pada saat-saat tertentu terjadi lonjakan meteor, tapi tahun ini normal," katanya, Kamis (15/4/2010). Fenomena hujan meteor ini berlangsung sejak lama. Meteor dari komet Tatcher , misalnya, mulai diketahui astronom sejak 2600 tahun lalu.
Hujan Meteor dan Dampaknya bagi Bumi
Hakim L. Malasan, Direktur Observatorium Bosscha,
Lembang, Kabupaten Bandung Barat baru-baru ini mengungkapkan, terdapat
sedikitnya 20 ton partikel meteor yang mengotori eksosfer setiap peristiwa
hujan meteor. Sejumlah partikel ini terus bertambah seiring dengan terjadinya
hujan meteor setiap tahun.
“Bumi sudah biasa mengalami hujan meteor sejak
jutaan tahun yang lalu. Sisa hujan meteor terus bertumpuk di atas eksosfer dan
tidak hilang dengan sendirinya. Bisa dibayangkan, seberapa besar tingkat
pengotoran atmosfer bumi akibat hujan meteor,” tuturnya.
Meski demikian, kata Hakim, pengotoran atmosfer
oleh peristiwa alam seperti hujan meteor dan radiasi matahari tidak jauh lebih
besar dibandingkan dengan pengotoran oleh perilaku manusia di bumi. Saat ini,
suhu di bumi meningkat 2 derajat Celsius akibat melonjaknya sejumlah gas pemicu
pemanasan global seperti karbondioksida (C02), dinitroksida (N2O), metana
(CH4), dan sulfurheksafluorida (SF6).
Sejumlah gas tersebut di antaranya dihasilkan
dari sisa pembakaran di berbagai industri, kebakaran hutan, dan sampah. Jika
dibiarkan, atmosfer bumi akan mengalami kerusakan akibat menipisnya lapisan
ozon. Kehidupan di bumi pun akan semakin terancam karena melemahnya sistem pertahanan
di bumi.
HUJAN
METEOR
THE REAL ARMAGEDDON
THE REAL ARMAGEDDON
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh kabar yang cukup
fenomenal. Hujan meteor, itulah kabar yang tersebar hampir diseluruh dunia
khususnya kawasan Asia . Betapa tidak ? Badan
raung ankas amerika (NASA) baru-baru ini disibukkan oleh agendanya untuk
mengamati hujan meteor tersebut. Meteor yang menghujan tersebut adalah meteor
jenis Leonid, yang mempunyai periode maksimal 93 tahun, terakhir terjadi pada
tahun1966 dimana tak kurang dari 150.000 meteor / jam terlihat. Berikutnya pada
tahun 1999 ( pada tahun sekarang (1998-red) ini sudah mulai memuncak). Tentunya
kita ingin mengetahui juga kejadiannya, ternyata tidak hanya hujan air atau
hujan es saja yang ada, ternyata hujan meteor pun tak urung kejadian alam yang
menarik untuk disimak. Keberadaan meteorid (cikal bakal meteor-red), seagian
berkaitan erat dengan asteroid / komet. Saat kedua benda langit ini mendekati
matahari ada lintasannya yang tumpang tindih dengan lintasan edar bumi. Yang
jadi masalah, asteroid atau komet kalau mendekati matahari akan mengalami
penguapan dan sublimasi. Walhasil disepanjang lintas edarnya penuh dengan
materi hasil kedua proses tersebut. Bila bumi masuk daerah jejak ini, maka
sebagian akan masuk atmosfer dan menghasilkan fenomena hujan meteor (meteor
shower). Perlu kita ketahui , menurut sejumlah saksi mata yang pernah melihat
terjadinya hujan meteor tersebut, kejatuhan meteor itu tampak indah sekali
seperti kembang api dengan warna yang semarak. Di perkirakan sejumlah warga di
Jepang, Amerika Serikat dan Thailand
bisa menyaksikan keindahan hujan meteor yang biasanya terjadi 33 tahun sekali
itu. Diperkirakan sekitar 2000-5000 meteor leonid per jam, Spektakuler bukan ?
Sebenarnya tak kurang dari 20 juta meteorit masuk ke atmosfer bumi per hari.
Yang berukuran besar ada kemungkinan habis terbakar, sehingga sempat mampir di
bumi. Sisa meteor ini disebut meteorit. Saat ini meteorit terbesar ada di
Hoba-afrika (1920, 60 ton), bayangkan bila ada batu sebesar itu jatuh dengan
kecepatan rata-rata 50 km/detik. Mungkin yang sudah melihat film Deep Impact dan
Armageddom bisa membayangkan dampaknya. Dibalik segala keindahan yang terjadi
yang diakibatkan hujan meteor tersebut terjadi dampak negatif bagi seluruh
satelit yang ada di angkasa. Badan Antariksa Nasional Amerika (NASA)
menyebutkan, selain dampak mekanis akibat tabrakan meteor, hal lain yang perlu
diwaspadai adalah radiasi gelombang elektro magnetiknya, yang bisa mempengaruhi
sistem di satelit. Beberapa kawasan yang diduga bakal terkena dampak paling
parah adalah:inklinasi rendah, bumi untuk satelit. Sebenarnya warga Indonesia
dapat juga menyaksikan peristiwa alam yang langka tersebut. Namun dikarenakan
cuaca yang tidak bersahabat (musim hujan-red) warga Indonesia tidak dapat keindahan hujan
meteor tersebut. Hujan meteor yang puncajnya diperkirakan terjadi pada pukul
02-20.00 wib itu sulit diamati baik olh tim Observatorium Bosscha dan jurusan
Astronomi ITB di Bandung, serta astronom Dr. Maldji Raharjo beserta staf pusdai
Jabar di pelabuhan ratu. Terlepas dari itu, itulah kekuasan sang pencipta. Pada
akhirnya kita benar-benar merasakan bahwa manusia itu kecil dimata Allah. Allhu
Akbar…. (ogi/ei/jun-kompas)
Meteor Draconids
NASA mengatakan badai yang
melewati orbit bumi di sekitar matahari setiap Oktober datang dari hujan meteor
yang disebut Draconids.
Hujan tersebut juga diberi nama Giacobinids
karena mengambil nama dari komet yang melempar mereka, komet Giacobini-Zinner.
Intensitas badai biasanya rendah tiap tahun,
tetapi bisa meningkat secara drastis setiap 13 tahun ketika bumi melewati
wilayah terpadat dalam aliran tersebut.
Intensitas tertinggi terjadi pada 1933 ketika
badai mengeluarkan 54 ribu meteor per jam. Sementara, pada 1946, tercatat 10
ribu meteor.
Jumlah meteor terbanyak dalam badai tersebut pada
1998 mencapai ratusan setiap jam.
Dr William Cooke dari Meteoroid
Environment Office NASA di Alabama mengatakan pihaknya sudah menyiapkan
langkah antisipatif untuk menghindari masalah akibat badai tersebut.
Menurut prediksi dari program komputer COoke
menyimpulkan ratusan meteor per jam bisa terlihat dari bumi pada 8 Oktober
2011.
“Sebelumnya, kami tidak mengetahui apa yang
terjadi. Kini kami bisa merasa lebih lega,” ujar Cooke. “Kami sudah bekerja
sama dengan program-program NASA (lainnya) untuk mengatasi risiko terhadap
pesawat luar angkasa.”
Asal usul
Banyak hipotesis tentang asal usul Tata Surya
telah dikemukakan para ahli, di antaranya :
Pierre-Simon Laplace, pendukung
Hipotesis Nebula
Gerard Kuiper, pendukung
Hipotesis Kondensasi
Hipotesis Nebula
Hipotesis nebula pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Swedenborg (1688-1772)[1] tahun 1734 dan disempurnakan
oleh Immanuel
Kant (1724-1804) pada tahun 1775. Hipotesis serupa
juga dikembangkan oleh Pierre Marquis de Laplace[2] secara
independen pada tahun 1796.
Hipotesis ini, yang lebih dikenal dengan Hipotesis Nebula Kant-Laplace,
menyebutkan bahwa pada tahap awal, Tata Surya masih berupa kabut raksasa. Kabut
ini terbentuk dari debu,
es, dan gas yang disebut nebula, dan unsur
gas yang sebagian besar hidrogen. Gaya
gravitasi yang dimilikinya menyebabkan kabut itu menyusut dan berputar dengan
arah tertentu, suhu kabut memanas, dan akhirnya menjadi bintang raksasa
(matahari). Matahari raksasa terus menyusut dan berputar semakin cepat, dan
cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari. Akibat gaya gravitasi,
gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan suhunya dan membentuk planet
dalam dan planet luar. Laplace
berpendapat bahwa orbit berbentuk hampir melingkar dari planet-planet merupakan
konsekuensi dari pembentukan mereka.[3]
Hipotesis Planetisimal
Hipotesis planetisimal pertama kali dikemukakan
oleh Thomas C. Chamberlin dan Forest R. Moulton pada tahun 1900. Hipotesis
planetisimal mengatakan bahwa Tata Surya kita terbentuk akibat adanya bintang
lain yang lewat cukup dekat dengan matahari, pada masa awal pembentukan
matahari. Kedekatan tersebut menyebabkan terjadinya tonjolan pada permukaan
matahari, dan bersama proses internal matahari, menarik materi berulang kali
dari matahari. Efek gravitasi bintang mengakibatkan terbentuknya dua lengan
spiral yang memanjang dari matahari. Sementara sebagian besar materi tertarik
kembali, sebagian lain akan tetap di orbit, mendingin dan memadat, dan menjadi
benda-benda berukuran kecil yang mereka sebut planetisimal
dan beberapa yang besar sebagai protoplanet.
Objek-objek tersebut bertabrakan dari waktu ke waktu dan membentuk planet dan
bulan, sementara sisa-sisa materi lainnya menjadi komet dan asteroid.
Hipotesis Pasang Surut Bintang
Hipotesis pasang surut bintang pertama kali
dikemukakan oleh James Jeans pada tahun 1917. Planet dianggap
terbentuk karena mendekatnya bintang lain kepada matahari. Keadaan yang hampir
bertabrakan menyebabkan tertariknya sejumlah besar materi dari matahari dan
bintang lain tersebut oleh gaya pasang surut bersama mereka, yang kemudian
terkondensasi menjadi planet.[3]
Namun astronom Harold Jeffreys tahun 1929 membantah bahwa tabrakan
yang sedemikian itu hampir tidak mungkin terjadi.[3]
Demikian pula astronom Henry Norris Russell mengemukakan
keberatannya atas hipotesis tersebut.[4]
Hipotesis Kondensasi
Hipotesis kondensasi mulanya dikemukakan oleh
astronom Belanda yang bernama G.P. Kuiper (1905-1973) pada tahun 1950. Hipotesis
kondensasi menjelaskan bahwa Tata Surya terbentuk dari bola kabut raksasa yang
berputar membentuk cakram raksasa.
Hipotesis Bintang Kembar
Hipotesis bintang kembar awalnya dikemukakan oleh
Fred Hoyle
(1915-2001) pada tahun 1956. Hipotesis
mengemukakan bahwa dahulunya Tata Surya kita berupa dua bintang yang hampir
sama ukurannya dan berdekatan yang salah satunya meledak meninggalkan
serpihan-serpihan kecil. Serpihan itu terperangkap oleh gravitasi bintang yang
tidak meledak dan mulai mengelilinginya.
[sunting] Sejarah penemuan
Lima planet terdekat ke Matahari selain Bumi (Merkurius, Venus, Mars, Yupiter dan Saturnus) telah
dikenal sejak zaman dahulu karena mereka semua bisa dilihat dengan mata
telanjang. Banyak bangsa di dunia ini memiliki nama sendiri untuk masing-masing planet.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pengamatan pada lima
abad lalu membawa manusia untuk memahami benda-benda langit terbebas dari
selubung mitologi. Galileo Galilei (1564-1642) dengan teleskop
refraktornya mampu menjadikan mata manusia "lebih tajam" dalam
mengamati benda langit yang tidak bisa diamati melalui mata telanjang.
Karena teleskop Galileo bisa mengamati lebih
tajam, ia bisa melihat berbagai perubahan bentuk penampakan Venus, seperti Venus
Sabit atau Venus Purnama sebagai akibat perubahan posisi Venus terhadap
Matahari. Penalaran Venus mengitari Matahari makin memperkuat teori heliosentris,
yaitu bahwa matahari adalah pusat alam semesta, bukan Bumi, yang sebelumnya
digagas oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543). Susunan
heliosentris adalah Matahari dikelilingi oleh Merkurius
hingga Saturnus.
Model heliosentris dalam manuskrip Copernicus.
Teleskop Galileo terus disempurnakan oleh ilmuwan
lain seperti Christian Huygens (1629-1695) yang
menemukan Titan,
satelit Saturnus, yang berada hampir 2 kali jarak orbit Bumi-Yupiter.
Perkembangan teleskop juga diimbangi pula dengan
perkembangan perhitungan gerak benda-benda langit dan hubungan satu dengan yang
lain melalui Johannes Kepler (1571-1630) dengan Hukum
Kepler. Dan puncaknya, Sir
Isaac Newton (1642-1727) dengan hukum
gravitasi. Dengan dua teori perhitungan inilah yang memungkinkan pencarian
dan perhitungan benda-benda langit selanjutnya
Pada 1781, William Herschel (1738-1822) menemukan Uranus. Perhitungan
cermat orbit Uranus menyimpulkan bahwa planet ini ada yang mengganggu. Neptunus
ditemukan pada Agustus 1846.
Penemuan Neptunus ternyata tidak cukup menjelaskan gangguan orbit Uranus. Pluto kemudian
ditemukan pada 1930.
Pada saat Pluto ditemukan, ia hanya diketahui
sebagai satu-satunya objek angkasa yang berada setelah Neptunus. Kemudian pada
1978, Charon, satelit yang mengelilingi Pluto
ditemukan, sebelumnya sempat dikira sebagai planet yang sebenarnya karena
ukurannya tidak berbeda jauh dengan Pluto.
Penemuan 2003 EL61 cukup menghebohkan
karena Objek Sabuk Kuiper ini diketahui juga memiliki satelit pada Januari 2005
meskipun berukuran lebih kecil dari Pluto. Dan puncaknya adalah penemuan UB 313
(2.700 km pada Oktober 2003) yang diberi nama oleh penemunya Xena. Selain lebih
besar dari Pluto, objek ini juga memiliki satelit.
[sunting] Struktur
Perbanding relatif massa planet. Yupiter
adalah 71% dari total dan Saturnus 21%. Merkurius dan Mars, yang total bersama
hanya kurang dari 0.1% tidak nampak dalam diagram di atas.
Orbit-orbit Tata Surya dengan
skala yang sesungguhnya
Illustrasi skala
Komponen utama sistem Tata Surya adalah matahari,
sebuah bintang
deret
utama kelas G2 yang mengandung 99,86 persen massa
dari sistem dan mendominasi seluruh dengan gaya gravitasinya.[5] Yupiter dan Saturnus, dua
komponen terbesar yang mengedari matahari, mencakup kira-kira 90 persen massa selebihnya.[c]
Hampir semua objek-objek besar yang mengorbit
matahari terletak pada bidang edaran bumi, yang umumnya dinamai ekliptika.
Semua planet
terletak sangat dekat pada ekliptika, sementara komet dan objek-objek sabuk
Kuiper biasanya memiliki beda sudut yang sangat besar dibandingkan ekliptika.
Planet-planet dan objek-objek Tata Surya juga
mengorbit mengelilingi matahari berlawanan dengan arah jarum jam jika dilihat
dari atas kutub utara matahari, terkecuali Komet
Halley.
Hukum
Gerakan Planet Kepler menjabarkan bahwa orbit dari objek-objek Tata Surya
sekeliling matahari bergerak mengikuti bentuk elips dengan matahari sebagai
salah satu titik fokusnya. Objek yang berjarak lebih dekat dari matahari (sumbu
semi-mayor-nya lebih kecil) memiliki tahun waktu yang lebih pendek. Pada
orbit elips, jarak antara objek dengan matahari bervariasi sepanjang tahun.
Jarak terdekat antara objek dengan matahari dinamai perihelion,
sedangkan jarak terjauh dari matahari dinamai aphelion. Semua
objek Tata Surya bergerak tercepat di titik perihelion dan terlambat di titik
aphelion. Orbit planet-planet bisa dibilang hampir berbentuk lingkaran,
sedangkan komet, asteroid dan objek sabuk Kuiper kebanyakan orbitnya berbentuk elips.
Untuk mempermudah representasi, kebanyakan
diagram Tata Surya menunjukan jarak antara orbit yang sama antara satu dengan
lainnya. Pada kenyataannya, dengan beberapa perkecualian, semakin jauh letak
sebuah planet atau sabuk dari matahari, semakin besar jarak antara objek itu
dengan jalur edaran orbit sebelumnya. Sebagai contoh, Venus terletak
sekitar sekitar 0,33 satuan astronomi (SA) lebih dari Merkurius[d],
sedangkan Saturnus
adalah 4,3 SA dari Yupiter, dan Neptunus terletak 10,5 SA dari Uranus. Beberapa
upaya telah dicoba untuk menentukan korelasi jarak antar orbit ini (hukum Titus-Bode), tetapi
sejauh ini tidak satu teori pun telah diterima.
Hampir semua planet-planet di Tata Surya juga
memiliki sistem sekunder. Kebanyakan adalah benda pengorbit alami yang disebut
satelit. Beberapa benda ini memiliki ukuran lebih besar dari planet. Hampir
semua satelit alami yang paling besar terletak di
orbit sinkron, dengan satu sisi satelit berpaling ke arah planet induknya
secara permanen. Empat planet terbesar juga memliki cincin yang berisi
partikel-partikel kecil yang mengorbit secara serempak.
[sunting] Terminologi
Secara informal, Tata Surya dapat dibagi menjadi
tiga daerah. Tata Surya bagian dalam mencakup empat planet
kebumian dan sabuk asteroid utama. Pada daerah yang
lebih jauh, Tata Surya bagian luar, terdapat empat gas planet raksasa.[6] Sejak
ditemukannya Sabuk Kuiper, bagian terluar Tata Surya dianggap
wilayah berbeda tersendiri yang meliputi semua objek melampaui Neptunus.[7]
Secara dinamis dan fisik, objek yang mengorbit matahari dapat
diklasifikasikan dalam tiga golongan: planet, planet
kerdil, dan benda kecil Tata Surya. Planet
adalah sebuah badan yang mengedari matahari dan mempunyai massa cukup besar untuk membentuk bulatan
diri dan telah membersihkan orbitnya dengan menginkorporasikan semua
objek-objek kecil di sekitarnya. Dengan definisi ini, Tata Surya memiliki
delapan planet: Merkurius, Venus, Bumi,
Mars, Yupiter, Saturnus, dan Neptunus. Pluto telah
dilepaskan status planetnya karena tidak dapat membersihkan orbitnya dari
objek-objek Sabuk Kuiper.[8]
Planet kerdil adalah benda angkasa bukan satelit
yang mengelilingi matahari, mempunyai massa
yang cukup untuk bisa membentuk bulatan diri tetapi belum dapat membersihkan
daerah sekitarnya.[8]
Menurut definisi ini, Tata Surya memiliki lima buah planet kerdil: Ceres, Pluto, Haumea, Makemake, dan Eris.[9]
Objek lain yang mungkin akan diklasifikasikan sebagai planet kerdil adalah: Sedna, Orcus, dan Quaoar. Planet
kerdil yang memiliki orbit di daerah trans-Neptunus biasanya disebut
"plutoid".[10]
Sisa objek-objek lain berikutnya yang mengitari matahari adalah benda kecil
Tata Surya.[8]
Ilmuwan ahli planet menggunakan istilah gas, es,
dan batu untuk mendeskripsi kelas zat yang terdapat di dalam Tata Surya. Batu
digunakan untuk menamai bahan bertitik lebur tinggi (lebih besar dari
500 K), sebagai contoh silikat. Bahan batuan ini sangat umum terdapat di Tata Surya
bagian dalam, merupakan komponen pembentuk utama hampir semua planet kebumian
dan asteroid. Gas adalah bahan-bahan bertitik lebur rendah seperti atom
hidrogen, helium, dan gas mulia, bahan-bahan ini mendominasi wilayah tengah
Tata Surya, yang didominasi oleh Yupiter dan Saturnus. Sedangkan es, seperti air, metana, amonia dan karbon
dioksida,[11]
memiliki titik lebur sekitar ratusan derajat kelvin. Bahan ini merupakan
komponen utama dari sebagian besar satelit planet raksasa. Ia juga merupakan
komponen utama Uranus
dan Neptunus
(yang sering disebut "es raksasa"), serta berbagai benda kecil yang
terletak di dekat orbit Neptunus.[12]
Istilah volatiles mencakup semua bahan
bertitik didih rendah (kurang dari ratusan kelvin), yang termasuk gas dan es;
tergantung pada suhunya, 'volatiles' dapat ditemukan sebagai es, cairan, atau
gas di berbagai bagian Tata Surya.
[sunting] Zona planet
Zona Tata Surya yang meliputi,
planet bagian dalam, sabuk asteroid, planet bagian luar, dan sabuk
Kuiper. (Gambar tidak sesuai skala)
Di zona planet dalam, Matahari adalah
pusat Tata Surya dan letaknya paling dekat dengan planet Merkurius
(jarak dari matahari 57,9 × 106 km, atau 0,39 SA),
Venus
(108,2 × 106 km, 0,72 SA), Bumi
(149,6 × 106 km, 1 SA) dan Mars
(227,9 × 106 km, 1,52 SA). Ukuran diameternya
antara 4.878 km dan 12.756 km, dengan massa jenis antara
3,95 g/cm3 dan 5,52 g/cm3.
Antara Mars dan Yupiter terdapat
daerah yang disebut sabuk asteroid, kumpulan batuan metal dan
mineral. Kebanyakan asteroid-asteroid ini hanya berdiameter beberapa kilometer
(lihat: Daftar asteroid), dan
beberapa memiliki diameter 100 km atau lebih. Ceres, bagian dari
kumpulan asteroid ini, berukuran sekitar 960 km dan dikategorikan sebagai planet
kerdil. Orbit asteroid-asteroid ini sangat eliptis, bahkan beberapa
menyimpangi Merkurius
(Icarus)
dan Uranus (Chiron).
Pada zona planet luar, terdapat planet gas
raksasa Yupiter
(778,3 × 106 km, 5,2 SA), Uranus
(2,875 × 109 km, 19,2 SA) dan Neptunus
(4,504 × 109 km, 30,1 SA) dengan massa jenis antara
0,7 g/cm3 dan 1,66 g/cm3.
Jarak rata-rata antara planet-planet dengan
matahari bisa diperkirakan dengan menggunakan baris matematis Titus-Bode.
Regularitas jarak antara jalur edaran orbit-orbit ini kemungkinan merupakan
efek resonansi sisa dari awal terbentuknya Tata Surya. Anehnya, planet Neptunus tidak
muncul di baris matematis Titus-Bode, yang membuat para pengamat berspekulasi
bahwa Neptunus merupakan hasil tabrakan kosmis.
[sunting] Matahari
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Matahari
Matahari dilihat dari spektrum
sinar-X
Matahari adalah bintang induk Tata Surya dan merupakan
komponen utama sistem Tata Surya ini. Bintang ini
berukuran 332.830 massa
bumi. Massa yang besar ini
menyebabkan kepadatan inti yang cukup besar untuk bisa mendukung kesinambungan fusi nuklir
dan menyemburkan sejumlah energi yang dahsyat. Kebanyakan energi ini
dipancarkan ke luar angkasa dalam bentuk radiasi eletromagnetik, termasuk
spektrum optik.
Matahari dikategorikan ke dalam bintang kerdil
kuning (tipe G V) yang berukuran tengahan, tetapi nama ini bisa menyebabkan
kesalahpahaman, karena dibandingkan dengan bintang-bintang yang ada di dalam
galaksi Bima Sakti, matahari termasuk cukup besar dan cemerlang. Bintang
diklasifikasikan dengan diagram Hertzsprung-Russell, yaitu
sebuah grafik yang menggambarkan hubungan nilai luminositas
sebuah bintang terhadap suhu permukaannya. Secara umum, bintang yang lebih
panas akan lebih cemerlang. Bintang-bintang yang mengikuti pola ini dikatakan
terletak pada deret utama, dan matahari letaknya persis di tengah
deret ini. Akan tetapi, bintang-bintang yang lebih cemerlang dan lebih panas
dari matahari adalah langka, sedangkan bintang-bintang yang lebih redup dan
dingin adalah umum.[13]
Dipercayai bahwa posisi matahari pada deret utama
secara umum merupakan "puncak hidup" dari sebuah bintang, karena
belum habisnya hidrogen yang tersimpan untuk fusi nuklir. Saat ini Matahari
tumbuh semakin cemerlang. Pada awal kehidupannya, tingkat kecemerlangannya
adalah sekitar 70 persen dari kecermelangan sekarang.[14]
Matahari secara metalisitas
dikategorikan sebagai bintang "populasi I". Bintang kategori ini
terbentuk lebih akhir pada tingkat evolusi alam
semesta, sehingga mengandung lebih banyak unsur yang lebih berat daripada
hidrogen dan helium ("metal" dalam sebutan astronomi) dibandingkan
dengan bintang "populasi II".[15]
Unsur-unsur yang lebih berat daripada hidrogen dan helium terbentuk di
dalam inti bintang purba yang kemudian meledak. Bintang-bintang generasi
pertama punah terlebih dahulu sebelum alam semesta dapat dipenuhi oleh
unsur-unsur yang lebih berat ini.
Bintang-bintang tertua mengandung sangat sedikit
metal, sedangkan bintang baru mempunyai kandungan metal yang lebih tinggi.
Tingkat metalitas yang tinggi ini diperkirakan mempunyai pengaruh penting pada
pembentukan sistem Tata Surya, karena terbentuknya planet adalah hasil
penggumpalan metal.[16]
[sunting] Medium antarplanet
Lembar aliran
heliosfer, karena gerak rotasi magnetis matahari terhadap medium
antarplanet.
Di samping cahaya, matahari juga
secara berkesinambungan memancarkan semburan partikel bermuatan (plasma) yang
dikenal sebagai angin matahari. Semburan partikel ini
menyebar keluar kira-kira pada kecepatan 1,5 juta kilometer per jam,[17]
menciptakan atmosfer tipis (heliosfer) yang merambah Tata Surya paling tidak sejauh 100
SA (lihat juga heliopause). Kesemuanya ini
disebut medium antarplanet.
Badai geomagnetis pada permukaan matahari,
seperti semburan matahari (solar flares)
dan lontaran massa korona (coronal mass
ejection) menyebabkan gangguan pada heliosfer, menciptakan cuaca ruang
angkasa.[18]
Struktur terbesar dari heliosfer dinamai lembar aliran
heliosfer (heliospheric current sheet), sebuah spiral yang terjadi
karena gerak rotasi magnetis matahari terhadap medium antarplanet.[19][20] Medan magnet
bumi mencegah atmosfer bumi berinteraksi dengan angin matahari. Venus dan Mars yang tidak
memiliki medan
magnet, atmosfernya habis terkikis ke luar angkasa.[21] Interaksi
antara angin matahari dan medan
magnet bumi menyebabkan terjadinya aurora, yang dapat dilihat dekat kutub magnetik bumi.
Heliosfer juga berperan melindungi Tata Surya
dari sinar
kosmik yang berasal dari luar Tata Surya. Medan magnet planet-planet menambah peran
perlindungan selanjutnya. Densitas sinar
kosmik pada medium antarbintang dan kekuatan
medan magnet matahari mengalami perubahan pada skala waktu yang sangat panjang,
sehingga derajat radiasi kosmis di dalam Tata Surya sendiri adalah bervariasi,
meski tidak diketahui seberapa besar.[22]
Medium antarplanet juga merupakan tempat
beradanya paling tidak dua daerah mirip piringan yang berisi debu kosmis. Yang
pertama, awan debu zodiak, terletak di Tata Surya bagian dalam dan merupakan
penyebab cahaya zodiak. Ini kemungkinan terbentuk dari tabrakan dalam sabuk
asteroid yang disebabkan oleh interaksi dengan planet-planet.[23]
Daerah kedua membentang antara 10 SA sampai sekitar 40 SA, dan mungkin
disebabkan oleh tabrakan yang mirip tetapi tejadi di dalam Sabuk
Kuiper
Tidak ada komentar:
Posting Komentar